BI Terus Sempurnakan Kebijakan Moneter dan Makroprudensial
JAKARTA, Bank Indonesia (BI) menerbitkan ketentuan penyempurnaan kebijakan moneter dan makroprudensial yang merupakan kelanjutan dari rangkaian reformulasi kerangka operasional kebijakan moneter.
Ketentuan itu dituangkan dalam PBI No.20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum (GWM) dan PBI No 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS).
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Filianingsih Hendarta mengatakan, penyempurnaan GWM rata-rata ditujukan untuk semakin meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan, mendorong fungsi intermediasi perbankan, dan mendukung upaya pendalaman pasar keuangan.
"Pengaturan RIM bertujuan untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan kepada sektor riil sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian," kata dia di Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Sedangkan pengaturan PLM diharapkan dapat mengatasi risiko likuiditas perbankan mengingat risiko likuiditas ini mampu mengamplifikasi risiko lain menjadi risiko sistemik. Dia memaparkan, beberapa substansi penyempurnaan yang diatur dalam PBI GWM di antaranya, penambahan porsi GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUK dari 1,5% menjadi 2% dari keseluruhan kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK sebesar 6,5%.
Kedua, pemberlakuan GWM dalam valas rata-rata bagi BUK sebesar 2% dari keseluruhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK sebesar 8%. Ketiga, pemberlakuan GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUS dan UUS sebesar 2% dari keseluruhan kewajiban GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS sebesar 5%. Keempat, pemberian jasa giro bagi GWM dalam rupiah BUK menjadi 0% (penihilan jasa giro).
"Dan kelima, penyeragaman Calculation Period (masa penghitungan), Lag Period (masa penyiapan), dan Maintenance Period (masa pemenuhan) masing-masing menjadi selama 2 minggu," ungkap dia.
Filianingsih mengungkapkan, kebijakan RIM dan PLM bagi bank konvensional telah dikenal sebelumnya melalui kebijakan GWM Loan to Funding Ratio (LFR) dan GWM Sekunder yang merupakan bagian dari kebijakan GWM. Sedangkan bagi bank syariah, kebijakan RIM Syariah telah diterapkan dalam bentuk rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga yang juga merupakan bagian dari kebijakan GWM.
Menurut dia, dalam ketentuan yang diterbitkan, ditetapkan RIM dengan target kisaran 80-92% baik untuk BUK maupun BUS dan UUS, dan memperluas komponen kredit/pembiayaan yang memasukkan Surat-Surat Berharga (SSB) yang dibeli oleh BUK, BUS, dan UUS, dan memperluas komponen simpanan dengan memasukkan SSB yang diterbitkan oleh BUS dan UUS.
"Pengaturan mengenai PLM merupakan penyempurnaan dari kebijakan sebelumnya yaitu GWM Sekunder yang dipenuhi dalam bentuk surat berharga dalam rupiah yang dapat digunakan dalam operasi moneter," jelas dia.
Adapun PLM ditetapkan dengan besaran 4% dari DPK. Terdapat penyempurnaan dari GWM Sekunder dengan adanya fleksibilitas di dalam PLM, yaitu dalam kondisi tertentu, surat berharga dalam perhitungan PLM dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka paling banyak sebesar 2% dari DPK.
PLM berlaku bagi BUK, dan bagi BUS berupa PLM Syariah. Bagi BUK yang memiliki UUS, maka perhitungan PLM akan memperhitungkan surat berharga dan DPK milik UUS. Dia mengatakan, kedua instrumen makroprudensial tersebut bersifat countercyclical yang dapat disesuaikan sejalan dengan siklus ekonomi dan keuangan.
"Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah, RIM, dan PLM bagi BUK akan efektif berlaku sejak tanggal 16 Juli 2018," imbuh dia.
Sementara, ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK, GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS, serta pemenuhan RIM Syariah bagi BUS dan UUS dan PLM Syariah bagi BUS akan berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2018.
Post a Comment