Header Ads

Vonis Koruptor Semakin Ringan, Rata-Rata Hanya 2 Tahun 2 Bulan


JAKARTA
,  Vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus korupsi pada 2017 menunjukkan tren yang semakin ringan. Dari data yang dirilis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) terlihat, rata-rata vonis yang diterima terdakwa koruptor adalah hanya 2 tahun 2 bulan.

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter mengatakan, rendahnya vonis itu juga tak lepas dari kecilnya tuntutan jaksa. Dari penelitiannya, rata-rata tuntutan jaksa penuntut umum hanya tiga tahun dua bulan. "Ada masalah yang serius juga terkait standar bagi jaksa penuntut umum maupun hakim dalam memutus," papar Easter di Jakarta, Kamis (3/5/2018).

Dalam pandangan ICW, putusan-putusan yang ada umumnya tak memiliki standar yang jelas dan cenderung bersifat subjektif. Indikasi ini ditandai alasan hakim yang menggunakan dalih terdakwa bersifat kooperatif, masih memiliki tanggungan, dan berumur muda misalnya. Di sisi lain, ada beberapa terdakwa yang umurnya sudah tua juga mendapat vonis yang tergolong ringan.

Bukan kali ini saja vonis koruptor Indonesia tergolong ringan. Pada 2016 ICW juga merilis bahwa vonis koruptor rata-rata hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Penghitungan itu berbasis pada putusan dari tingkat pertama atau pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tingkat kedua atau pengadilan tinggi dan pengadilan tingkat ketiga atau kasasi Mahkamah Agung (MA). Kesimpulan tersebut didapatkan ICW dari pemantauan 573 putusan.

Rinciannya, ada 420 putusan dari pengadilan tingkat pertama, 121 putusan dari pengadilan tingkat kedua dan 32 putusan tingkat kasasi. Disebut ringan karena putusannya di bawah empat tahun penjara. Golongan putusan sedang adalah vonis 4-10 tahun, adapun putusan berat di atas 10 tahun penjara. Tren putusan terhadap koruptor pada 2016 tak jauh beda dengan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, tepatnya periode 2013-2015.

BKN Ajak KPK Bersihkan PNS Korup
Badan Kepegawaian Negara menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas pegawai negeri sipil (PNS) korup. Kerja sama ini dilakukan guna menuntaskan permasalahan kasus-kasus keterlibatan PNS dalam tindak pidana korupsi (tipikor).

Salah satu persoalan yang dihadapi adalah masih banyaknya PNS yang terbukti terlibat korupsi dan telah berkekuatan hukum tetap masih berstatus aktif bekerja. Padahal, sudah seharusnya PNS tersebut dihentikan secara tidak hormat. Berdasarkan data ICW, sepanjang 2017 dari total 1.298 tersangka kasus korupsi, 495 tersangka berstatus PNS.

"PNS kan sering kali terlibat korupsi karena memiliki kewenangan atas anggaran. Ini seperti lingkaran malaikat yang saling menguntungkan dalam arti negatif. Ini yang coba kita putus dengan menggandeng KPK," tandas Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan di Jakarta, Kamis (3/5/2018).

Menurut dia, kerja sama ini disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Salah satu hal yang dilakukan adalah pertukaran data tindak pidana korupsi. Dia berharap kerja sama ini dapat membuat efek jera bagi PNS. "Semoga bikin segan untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar. Ini dari sisi pencegahan. Misalnya ada yang inkracht, tapi tidak diberhentikan. KPK akan melakukan kewenangannya untuk menjamin apa yang diimbau BKN dilakukan," paparnya.

Menurut dia, berdasarkan data BKN setidaknya terdapat 3.000-an PNS yang terlibat korupsi dan telah berkekuatan hukum tetap namun masih menjabat. Oknum PNS tersebut ada yang telah dipromosikan ataupun dimutasi. "Ini kita mau sisir satu-satu. Di sisi lain, juga tidak ada alat untuk memaksa instansi patuh. Jadi, kita memakai penegak hukum," tandasnya.

Ridwan mengatakan, BKN telah melayangkan surat kepada pejabat pembina kepegawaian baik instansi pusat maupun daerah sebagai upaya menindaklanjuti kerja sama tersebut. Ada empat hal utama yang disampaikan kepala BKN kepada seluruh PPK instansi. "Pertama, imbauan dengan meminta PPK menerbitkan surat keputusan pemberhentian tidak dengan hormat bagi PNS di lingkungan instansinya yang dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan dan/atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum," ungkapnya.

Kedua, imbauan agar PPK memastikan bahwa pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari jabatan di lingkungan instansinya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, juga memastikan tidak ada praktik suap atau pungli. Ketiga, apabila kedua hal tersebut tidak dilaksanakan oleh PPK instansi maka akan ditindaklanjuti pengawasan bersama yang dilakukan oleh BKN dan KPK.

"Keempat, hasil pengawasan bersama akan ditindaklanjuti oleh BKN dan KPK sesuai dengan kewenangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy mengaku, PNS terpidana aktif bekerja memang terjadi di banyak daerah. Bahkan berdasarkan identifikasi sementara yang dilakukan awal tahun ini, terdapat 200 lebih PNS yang masih aktif meski berstatus terpidana. "Beberapa bulan lalu kita identifikasi ada 200 lebih yang seperti itu. Ini di seluruh Indonesia. Baik di pusat maupun daerah. Ini mesti dibenahi," ujarnya.

Irham mengatakan hal ini tidak saja melanggar aturan, tapi juga berdampak pada kerugian negara. Pasalnya, ada PNS yang masih digaji, padahal sudah seharusnya diberhentikan. Bahkan, ada yang nekat menjabat kembali dan mengabaikan etika sebagai aparat pemerintah. "Tidak masuk, gaji tetap jalan. Ini memang masih berantakan," tandasnya.

Dia mengakui adanya kelemahan dalam manajemen kepegawaian Indonesia. Menurut dia, seharusnya terdapat unit atau lembaga khusus yang mengawal proses hukum di setiap PNS. "Setiap putusan kan ada tindak lanjutnya. Misalnya kalau banding, dampaknya seperti apa. Ini tidak ada organisasi yang mengawal. Barulah kita (KASN) karena kita bertanggung jawab pada pelanggaran kode etik," paparnya.

Tidak ada komentar